Tampilkan postingan dengan label Sedarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sedarah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 05 Agustus 2023

Aku Mengkhayalkan Tante Ku

Aku Mengkhayalkan Tante Ku

cerita dewasa

Aku akan memberikan gambaran sekilas tentang tanteku ini. Tingginya sekitar 167-an, lingkar dadanya sekitar 34-an, pinggulnya 32-an, aku menambahkan "an" karena aku kurang tahu pasti besar masing-masing bagian tubuhnya itu.

Kejadian itu terjadi di Denpasar Bali, tahun 1998, aku waktu itu kelas 3 SMU di salah satu SMU di Denpasar. Tapi sekarang aku kuliah di Jakarta di salah satu kampus yang tidak begitu terkenal di Jakarta. Aku memang sudah lama sekali sangat menginginkan tubuh tanteku itu, tapi butuh penantian yang lama, kira-kira sejak aku SMP. Mulailah kuceritakan isinya. Waktu itu sekitar jam 12.30 WITA, matahari benar-benar panasnya minta ampun, terus motorku endut-endutan. Wahhh! benar-benar reseh dah.

Tapi akhirnya aku sampai di kost-kostan, langsung saja aku ganti baju, terus sambil minum air Aqua, wuahhh, segar tenan rek. Lalu tiba-tiba belum kurebahkan badan untuk istirahat handphone-ku bunyi, ternyata dari tanteku, lalu kujawab,
"Halo Tan, ada apa?"
"Kamu cepet dateng ya!" ucap tanteku.
"Sekarang?" tanyaku lagi.
"La iya-ya, masa besok, cepet yah!" ujar tanteku.
Lalu aku bergegas datang ke rumah tanteku itu.

Sesampainya di sana, kulihat rumahnya kok sepi, tidak seperti biasanya (biasanya ramai sekali), lalu kugedor pintu rumah tanteku. Tiba-tiba tanteku langsung teriak dari dalam. "Masuk aja Wa!" teriak tanteku. Oh ya, namaku Dewa. Lalu aku masuk langsung ke ruang TV. Terus aku tanya,
"Tante dimana sih?" tanyaku dengan nada agak keras.
"Lagi di kamar mandi, bentar ya Wa!" sahut tanteku.
Sambil menunggu tanteku mandi aku langsung menghidupkan VCD yang ada di bawah TV, dan menonton film yang ada di situ. Tidak lama kemudian tanteku selesai mandi lalu menghampiri aku di ruang TV. Oh my god! Tanteku memakai daster tipis tapi tidak transparan sih, tapi cetakan tubuhnya itu loh, wuiiihhh! Tapi perlu pembaca ketahui di keluargaku terutama tante-tanteku kalau lagi di rumah pakaiannya seksi-seksi.

Aku lanjutkan, lalu dia menegurku.
"Sorry ya Wa, Tante lama."
"Oh, nggak papa Tante!" ujarku rada menahan birahi yang mulai naik.
"Oom kemana Tante?" tanyaku.
"Loh Oom kamu kan lagi ke Singaraja (salah satu kota di Bali)," jawab tanteku.
"Memangnya kamu nggak di kasih tau kalo di Singaraja ada orang nikah?" tanya tanteku lagi.
"Wah nggak tau Tante, Dewa sibuk sih," jawabku.
"Eh Wa, kamu nggak usah tidur di kos-an yah, temenin Tante di sini, soalnya Tante takut kalo sendiri, ya Wa?" tanya tanteku sedikit merayu.

Wow, mimpi apa aku semalam kok tanteku mengajak tidur di rumahnya, tidak biasanya, pikirku.
"Tante kok nggak ikut?" tanyaku memancing.
"Males Wa," jawab tanteku enteng.
"Ooo, ya udah, terus Dewa tidur dimana Tan?" tanyaku lagi.
"Mmm... di kamar Tante aja, biar kita bisa ngobrol sambil nonton film, di kamar Tante ada film baru tuh!" ujar tanteku.
Oh god! what a miracle it this. Gila aku tidak menyangka aku bisa tidur sekamar, satu tempat tidur lagi, pikirku.
"Oke deh!" sahutku dengan girang.

Singkat cerita, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.
"Waaa...! Dewaaa...! udah mandi belum?" teriak tanteku memanggil.
"Bentar Tan!" jawabku.

Memang saat itu aku sedang membersihkan motor, melap motor adalah kebiasaanku, karena aku berprinsip kalau motor bersih terawat harga jualnya pasti tinggi. Pada saat itu pikiran kotorku dalam sekejap hilang. Setelah melap motor, aku bergegas mandi. Di kamar mandi tiba-tiba pikiran kotorku muncul lagi, aku berpikir dan mengkhayalkan kemaluan tanteku, "Gimana rasanya ya?" khayalku.

Terus aku berusaha menghilangkan lagi pikiran itu, tapi kok tidak bisa-bisa. Akhirnya aku mengambil keputusan dari pada nafsuku kupendam terus entar aku macam-macam, wah pokoknya bisa gawat. Akhirnya aku onani di kamar mandi. Pas waktu di puncak-puncaknya aku onani, tiba-tiba pintu kamar mandi ada yang mengetuk. Kontan saja aku kaget, ternyata yang masuk itu adalah tanteku. Mana pas bugil, sedang tegang lagi kemaluanku, wah gawat!

"Sibuk ya Wa?" tanya tanteku sambil senyum manja.
"Eh... mmm... so... so... sorry Tan, lupa ngunci," jawabku gugup.
Tapi sebenarnya aku bangga, bisa menunjukkan batang kemaluanku pada tanteku. Panjang batang kemaluanku pas keadaan puncak bisa mencapai 15 cm, pokoknya "international size" deh.
"Oh nggak papa, cepetan deh mandinya, terus langsung ke kamar ya, ada yang pengen Tante omongin."
"Oh my god, marah deh Tante, wah gawat nih," pikirku.
Lalu aku cepat-cepat mandi, terus berpakaian di dalam kamar mandi juga, tidak sempat deh melanjutkan onani, padahal sudah di puncak.

Setibanya di kamar tanteku, aku melihat tante memakai celana pendek, sangat pendek, ketat, pokoknya seksi sekali, terus aku bertanya,
"Ada apa Tan, kayaknya gawat banget sih?" tanyaku takut-takut sambil duduk di atas tempat tidur.
"Enggak, Tante pengen cerita, tentang Oom-mu itu lho," ujar tanteku.
"Emangnya Oom kenapa Tan?" tanyaku lagi.
Dalam hatiku sebenarnya aku sudah tahu oom itu orangnya agak lemah, jadi aku berharap tante menawarkan kemaluannya padaku. Dengan seksama aku medengarkan cerita tanteku itu.

"Sebenernya Tante nggak begitu bahagia sama Oom-mu itu, tapi dibilang nggak bahagia nggak juga, sebabnya Oom-mu itu orangnya setia, tanggung jawab, dan pengertian, yang bikin Tante ngomong bahwa Tante nggak bahagia itu adalah masalah urusan ranjang," ujar tanteku panjang lebar.
"Maksud Tante?" tanyaku lagi.
"Ya ampun, masih nggak ngerti juga, maksud Tante, Oom-mu itu kalo diajak begituan suka cepet nge-down, nah ngertikan?" tanya tanteku meyakinkan aku.
"Ooo..." ucapku pura-pura tidak mengerti.
"Mmm... Wa, mau nggak nolongin Tante?" tanya tanteku dengan nada memelas.
"Bantu apa Tan?" tanyaku lagi.
"Kan hari ini sepi, terus Oom-mu kan nggak ada, juga sekarang Tante lagi terangsang nih, mau nggak kamu main sama Tante?" tanya tanteku sembari mendekatkan tubuhnya kepadaku.

Gila! Ternyata benar juga yang aku khayalkan, Tanteku minta! Cihui! ups tapi jangan sampai aku terlihat nafsu juga, pikirku dalam-dalam.
"Tapi Dewa takut Tante, nanti ada yang ngeliat gimana?" ucapku polos.
"Loh...! kan kamu ngeliat sendiri, emang di sini ada siapa? kan nggak ada siapa-siapa," jawab tanteku meyakinkan.
"Ya udah deh," ujar tanteku sambil memulai dengan menempelkan tangannya ke kemaluanku yang sebenarnya sudah menegang dari tadi.
"Wow... gede juga ya! Buka dong celanamu Wa!" ujar tanteku mesra.
Lalu kubuka celanaku dengan cepat-cepat, dengan cepat pula tanteku memegang kemaluanku yang sudah over size itu. Sambil mengocok batang kemaluanku dengan tangan kirinya, tangan kanan tanteku memegang payudaranya dan mengeluarkan bunyi-bunyi yang merangsang. "Emf... ehm... mmm... gede banget kemaluanmu Wa!" ujar tanteku.

Aku tidak terlalu mendengarkan omongan tanteku, soalnya aku sudah "over" sekali. Lalu tanteku mulai menempelkan kemaluanku ke mulutnya, dan dengan seketika sudah dilumatnya batang kemaluanku itu.
"Oh God! Eh... eh... ehm... e... nak... Tante... terus Tan...!" ujarku merasakan nikmatnya kuluman tanteku itu. Tanteku lalu merebahkan tubuhku di atas ranjangnya, lalu dengan ganas ia menyedot batang kemaluanku itu, lalu ia memutar tubuhnya dan meletakkan liang kemaluannya di atas mukaku tanpa melepaskan kemaluanku dari mulutnya. Dengan sigap aku langsung menjilat liang kemaluan tanteku. Merasakan itu tanteku mengerang keenakan. "Aaah... Wa... enak... terus Wa... terus jilat...!" erang tanteku keras-keras. Mendengar itu, nafsuku makin bertambah, dengan nafsu yang menggebu jilatan ke kemaluannya kutingkatkan lagi, dan akibatnya tanteku mengalami orgasme yang dahsyat, sampai-sampai mukaku kena semprotan cairan kewanitaannya. "Oh Dewa... Tante sayang kamu... uh... ka.. ka... mu ponakan Tante paling... heee... bat... aaah," puji tanteku sambil mengerang merasakan nikmat.

Aku merasa bangga karena aku masih bertahan, lalu aku membalikkan tubuh tanteku sehingga ia terlentang. Kuangkat kedua kakinya sehingga terpampanglah liang kemaluannya berwarna pink merekah. Sebelum aku mulai menu utamanya, pertama aku melucuti pakaiannya terlebih dahulu, setelah terbuka, aku mulai memainkan mulutku di puting payudaranya, dan kemaluanku yang telah "over" tadi kuletakkan di atas perutnya sambil menggesek-gesekkannya. Perlahan aku menciumi tubuh tanteku dengan arah menurun, mulai dari puting terus ke perut lalu ke paha sampai akhirnya tiba di bibir kemaluannya. Dengan penuh nafsu aku menjilat, menyedot, sampai menggigit saking gemasnya, dan rupanya tanteku akan mengalami orgasmenya lagi. "Ooohh... Waaa... Tante mau keee... luuu.. aar! Aaah...!" erang tanteku lagi sambil menjambak rambut kepalaku sehingga wajahku terbenam di kemaluannya. "Wa, udah ah, Tante nggak kuat lagi, Oom-mu mana bisa kayak gini, udah deh Wa, lansung aja tante pengen langsung ngerasain itu-mu."

Tubuhnya kutopang dengan tangan kiri, sementara tangan kiri membimbing batang kemaluanku mencari sarangnya. Melihatku kesulitan mencari liang kemaluan tanteku, akhirnya tanteku yang membimbing untuk memasukkan batang kemaluaku ke liang kemaluannya. Setelah menempel di lubangnya, perlahan kudorong masuk batang kemaluanku, dorongan itu diiringi dengan desahan tanteku. "Egghmm... terus Waa... pelan tapi terus Wa... egghhmm...!" desahan tanteku begitu merangsang. Aku sebenarnya tidak senang dengan permainan yang perlahan. Akhirnya dengan tiba-tiba dorongan batang kemaluanku, kukeraskan sehingga tanteku teriak kesakitan. "Aaahh... Waaa.. saaakitt... pelan-pelan... aargghhh..." teriak tanteku menahan sakitnya itu. Dan tidak percuma, batang kemaluanku langsung terbenam di dalam liang kehormatannya itu. Setelah itu batang kemaluanku, aku maju-mundurkan perlahan, untuk mencari kenikmatan.

Dengan gerakan perlahan itu akhirnya tanteku menikmati kembali permainan itu. "Ah... uh... terus Wa... enak sekali... itu-mu gede sekali... eggghh... lebih enak dari Oom-mu itu... terus Waaa..." erang tanteku keenakan. Lalu lama-lama aku mulai mempercepat gerakan maju-mundur, dan itu mendapat reaksi yang dahsyat dari tanteku, ia juga mulai memainkan pinggulnya, hingga terasa batang kemaluanku mulai berdenyut,
"Tan... saya mauuu... kelu... arrr... nih...!"
"Di dalam aja Waaa... Tante... juugaa... mauuu keeluaaarr... aaarrgghh...!"
Akhirnya kami keluar bersama-sama, kira-kira enam kali semprotan aku mengeluarkan sperma. Aaahh... begitu nikmatnya.

Setelah itu kucabut batang kemaluanku dari liang kemaluan tanteku, terus kuberikan ke mulut tanteku untuk dibersihkan. Dengan ganas tanteku menjilati spermaku yang masih ada di kepala kemaluanku hingga bersih. Setelah itu tanteku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, dan aku tetap berada di kamar, tiduran melepas lelah. Setelah tanteku selesai membersihkan diri, ia kembali ke kamar dan segera mencium bibirku, lalu ia bilang bahwa selama oom-ku di Singaraja, aku diharuskan tinggal di rumah tanteku dan aku jelas mengiyakan. Lalu tante juga bertanya apakah keadaan kostku bebas, maka kujawab iya. Lalu tante bilang bahwa kalau misalnya oom-ku ada di rumah, terus tanteku ingin main denganku, tanteku akan mencariku ke kost, aku hanya manggut-manggut senang saja.

Jumat, 22 November 2019

Video Mesum Berawal dari Bermain Skateboard

Video Mesum Berawal dari Bermain Skateboard

Klik Gambar Untuk Menonton Video Mabuk Parah Di ewe diem aja
Mabuk Parah Di ewe diem aja

Minggu, 11 Agustus 2019

Sabtu, 30 Mei 2015

Aku Digilir Ibuku dan Teman - Temannya

Aku Digilir Ibuku dan Teman - Temannya

cerita sex

Namaku Bernas dan aku tinggal di Jakarta. Di saat aku menulis cerita ini, aku baru saja menginjak umur 25 tahun. Aku bekerja di sebuah perusahaan marketing ternama di kawasan daerah Kuningan (Jakarta Selatan). Perusahaan kami ini adalah anak dari perusahaan marketing Inggris yang mana Head Office untuk Asia Pasific berada di negeri Singapore. Aku bisa bekerja di perusahaan ini atas bantuan ibu tiriku yang memiliki banyak kolega perusahaan-perusahaan ternama di Jakarta.

Ibu tiriku tergolong orang yang terpandang dan kaya raya. Bekas suaminya adalah pengusaha distributor minyak bumi dalam negeri yang punya akses mudah ke instansi-instansi pemerintah. Ibu tiriku cerai dengan bekas suaminya karena bekas suaminya memiliki banyak ’selir-selir’ di beberapa kota di pulau Jawa dan beberapa lagi di luar pulau Jawa. Karena tidak tahan dengan situasi yang dia hadapi, dia memutuskan untuk bercerai dengan bekas suaminya.
Menurut cerita ibu tiriku, urusan perceraiannya sangatlah rumit, berbelit-belit, dan memakan waktu berbulan-bulan. Seperti biasa
pembagian harta gono-gini yang membuat urusan cerai menjadi lebih panjang. Sampai pada akhirnya hasil dari penceraian tersebut, ibu
tiriku mendapat 30% dari seluruh aset dan kekayaan mantan suaminya. Namun setelah itu, ibu tiriku tidak diperbolehkan lagi untuk meminta jatah lagi kekayaan bekas suaminya setelah penceraiannya final di pengadilan.
Bisa para pembaca membayangkan seberapa besar warisan kekayaan ibu tiriku. Bagaimana dengan keluarga asliku? Ayah bercerai dengan ibu kandungku saat aku masih berumur 7  tahun. Masalah dari penceraian tersebut, aku masih kurang tau sampai sekarang ini. Ayah lebih memilih untuk tidak menceritakan masalah tersebut, dan aku pun tidak pernah lagi bertanya kepadanya. Aku mengerti perasaan ayah, karena saat itu kehidupan ekonomi keluarga masih sangat sulit dan ayah pada saat itu hanya seorang pegawai toko di daerah Mangga Besar. Meskipun hanya pegawai toko biasa, ayah memiliki bakat dan hobi mekanik yang berhubungan dengan mesin motor.
Pendidikan ayah hanya sampai pada tamatan SD, dan dia mendapat ilmu montirnya dari kakek yang dulu sempat bekerja di bengkel reparasi mobil. Ayah selalu memiliki cita-cita untuk membuka bengkel sendiri. Setelah bercerai dengan ibu kandungku, aku dan ayah sering berpindah-pindah rumah kontrak. Ekonomi ayah juga tidak juga membaik. Sering istilah kehidupan kami bak ‘gali lubang tutup
lubang’. Setiap tahun gaji ayah naik hanya sedikit saja, dan kebutuhan ekonomi selalu meningkat.
Namun ayah tidak pernah menyerah untuk berusaha lebih demi menyekolahkan aku. Untungnya aku tergolong anak yang suka sekolah dan belajar, oleh karenanya ayah tidak pernah mengenal lelah mencari uang tambahan agar aku menjadi orang yang berilmu dan mencapai karir indah di masa depanku. Cita-cita ayah membuka bengkel reparasi mobil sendiri bermula dari keisengannya melamar
kerja di bengkel mobil dekat rumah kontrakan kami. Ayah kerja di toko hanya selama 6 hari seminggu bergantian, tapi ayah menetapkan untuk mengambil hari Sabtu libur agar dia bisa bekerja di bengkel mobil tersebut. Karena bakat dan cinta ayah terhadap mesin mobil dan motor, ayah menjadi tukang favorit di bengkel tersebut.
Perlahan-lahan ayah mengurangi hari kerja ayah sebagai pegawai toko menjadi 5 hari seminggu, kemudian 4 hari seminggu, dan terakhir 3 hari seminggu. Sampai pada akhirnya bengkel menarik banyak pelanggan tetap, dan ayah diminta untuk bekerja sebagai pegawai tetap di bengkel itu. Gaji ayah naik 3 kali lipat dari gaji sebagai pegawai toko plus bonus dan tip-tip dari pelanggan. Lebih bagusnya lagi ayah hanya bekerja 5 hari saja dari hari Senin sampai Jumat.
Ayah sengaja tidak memilih hari Sabtu dan Minggu demi menghabiskan waktu berdua denganku. Setiap hari Sabtu ayah suka menjemputku sepulang sekolah, maklum biasanya sekolahku hanya masuk 1/2 hari di hari Sabtu dan kami berdua suka jajan di luar
sebelum pulang ke rumah. Sejak bekerja di bengkel itu, aku menjadi dekat dengan ayah. Dengan kondisi ekonomi yang semakin membaik dari hari ke hari, kini ayah mampu untuk membeli rumah sendiri meskipun tidak besar. Malaikat keberuntungan sedang berada disamping ayah. Ayah orang yang baik, tekun dan jujur, maka dari itu ayah diberi banyak rejeki dari yang di atas. Bengkel itu menjadi
tumbuh pesat pula berkat kedatangan ayah.
Demi menjaga hubungan baik antara ayah dengan bos bengkel itu, ayah diberi komisi 15% dari setiap pembayaran service/reparasi mobil/
motor yang dia urus plus bonus tahunan dan belum lagi tip-tip dari pelanggan. Nama bengkel menjadi terkenal karena rekomendasi dari mulut ke mulut, sampai pada suatu hari ibu tiriku ini menjadi pelanggan tetap bengkel itu. Ibu tiriku mendengar nama bengkel dan nama ayahku dari teman dekatnya. Saat itu ibu tiriku memiliki 3 buah mobil. Seingatku waktu mitu ada BMW, Mercedes, dan mobil kijang. Ibu
tiriku sering mengunjungi bengkel ayah dengan alasan untuk check up antara mobil BMW-nya atau Mercedes-nya. Mobil kijangnya hanya
datang dengan supir.
Sebut saja nama ibu tiriku adalah Tina (nama singkatan). Saat itu aku memanggilnya tante Tina. Umur tante Tina 4 tahun lebih muda dari
ayah. Kerutinan tante Tina ke bengkel menjadi awal dari romansa antara dia dan ayah. Ayah sering kencan berdua dengan tante Tina, dan
terkadang mereka mengajakku pergi bersama- sama pula. Terus terang sejak bersama tante Tina, wajah ayah lebih tampak berseri-seri dan lebih segar. Mungkin saat itu dia menemukan cinta keduanya setelah bertahun-tahun berpisah dengan ibu kandungku. Melihat perubahaan positif ayah, aku pun menjadi ikut senang. Aku juga senang bila tante Tina datang berkunjung, karena dia sering membawa oleh-oleh berupa makanan atau minuman yang belum pernah aku liat sebelumnya. Belakangan aku baru tau bahwa bingkisan itu adalah pemberian dari kolega bisnisnya.
Salah satu rumah Tante Tina berada di daerah Jakarta Selatan, dan tentu banyak orang tau bahwa kawasan ini adalah kawasan elit.
Setelah bercerai, tante Tina membuka beberapa bisnis elit di sana seperti salon/spa kecantikan, dan butik. Para pelanggannya juga dari kalangan kaliber atas seperti pejabat dan artis. Dia menyewa beberapa prajurit terpecaya untuk menjalankan usaha-usaha bisnisnya.
Dalam singkat cerita, ayah dan tante Tina akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah aku disuruh memanggilnya ‘mama’.
Perlu waktu beberapa minggu untuk memanggilnya ‘mama’, tapi lama-lama aku menjadi biasa untuk memanggilnya ‘mama’.
Untuk lebih singkatnya dalam cerita ini, aku akan menyebut ‘ibu tiriku’ sebagai ‘ibu’.
Sejak setelah menikah, ibu tinggal di rumah kecil kami beberapa bulan sambil menunggu bangunan rumah baru mereka selesai. Lagi-lagi,
rumah baru mereka tidak jauh dari bengkel ayah. Ayah menolak tinggal di rumah tante Tina karena alasan pribadi ayah. Setelah banyak
process yang dilakukan antara ayah dan ibu, akhirnya bengkel tempat ayah bekerja, kini menjadi milik ayah dan ibu sepenuhnya. Ayah
pernah memohon kepada ibu agar dia ingin tetap dapat bekerja di bengkel, dan terang saja bengkel itu langsung ibu putuskan untuk dibeli
saja. Maklum ibu adalah ‘business-minded person’. Aku semakin sayang dengan ibu, karena pada akhirnya cita-cita ayah untuk memiliki bengkel sendiri terkabulkan.
Kini bengkel ayah makin besar setelah ibu ikut berperan besar di sana. Banyak renovasi yang mereka lakukan yang membuat bengkel ayah tampak lebih menarik. Pelanggan ayah makin bertambah, dan kali ini banyak dari kalangan orang-orang kaya. Ayah tidak memecat pegawai-pegawai lama di sana, malah menaikkan gaji mereka dan memperlakukan mereka seperti saat dia diperlakukan oleh pemilik bengkel yang lama. Kehidupan dan gaya hidupku & ayah benar- benar berubah 180 derajat. Kini ayah sering melancong ke luar negeri bersama ibu, dan aku sering ditinggal di rumah sendiri dengan pembantu. Alasan aku ditinggal mereka karenaaku masih harus sekolah.
Ibu sering mengundang teman-teman lamanya bermain di rumah. Salah satu temannya bernama tante Ani. Tante Ani saat itu hanya 15
tahun lebih tua dariku. Semestinya dia pantas aku panggil kakak daripada tante, karena wajahnya yang masih terlihat seperti orang
berumur 20 tahunan. Tanti Ani adalah pelanggan tetap salon kecantikan ibu, dan kemudian menjadi teman baik ibu. Wajah tante Ani tergolong cantik dengan kulitnya yang putih bersih. Dadanya tidak begitu besar, tapi pinggulnya indah bukan main. Maklum anak
orang kaya yang suka tandang ke salon kecantikan. Tante Ani sering main ke rumah dan kadang kala ngobrol atau gossip dengan ibu
berjam-jam. Tidak jarang tante Ani keluar bersama kami sekeluarga untuk nonton bioskop, window shopping atau ngafe di mall.
Aku pernah sempat bertanya tentang kehidupan pribadi tante Ani. Ibu bercerita bahwa tante Ani itu bukanlah janda cerai atau janda apalah. Tapi tante Ani sempat ingin menikah, tapi ternyata pihak dari laki-laki memutuskan untuk mengakhiri pernikahan itu. Alasan-nya tidak dijelaskan oleh ibu, karena mungkin aku masih terlalu muda untuk mengerti hal-hal seperti ini. Pada suatu hari ayah dan ibu lagi-lagi cabut dari rumah. Tapi kali ini mereka tidak ke luar negeri, tapi hanya melancong ke kota Bandung saja selama akhir pekan. Lagi-lagi hanya aku dan pembantu saja yang tinggal di rumah.
Saat itu aku ingin sekali kabur dari rumah, dan menginap di rumah teman. Tiba-tiba bel rumah berbunyi dan waktu itu masih jam 5:30 sore di hari Sabtu. Ayah dan ibu baru 1/2 jam yang lalu berangkat ke Bandung. Aku pikir mereka kembali ke rumah mengambil barang yang ketinggalan. Sewaktu pintu rumah dibuka oleh pembantu, suara tante Ani menyapanya. Aku hanya duduk bermalas-malasan di sofa ruang tamu sambil nonton acara TV. Tiba-tiba aku disapanya.
“Bernas kok ngga ikut papa mama ke Bandung?”tanya tante Ani.
“Kalo ke Bandung sih Bernas malas, tante. Kaloke Singapore Bernas mau ikut.” jawabku santai.
“Yah kapan-kapan aja ikut tante ke Singapore.
Tante ada apartment di sana” tungkas tante Ani.
Aku pun hanya menjawab apa adanya “Ok deh.
Ntar kita pigi rame-rame aja. Tante ada perlu apa dengan mama? Nyusul aja ke Bandung kalo
penting.”.
“Kagak ada sih. Tante cuman pengen ajak mamamu makan aja. Yah sekarang tante bakalan makan sendirian nih. Bernas mau ngga
temenin tante?”.
“Emang tante mau makan di mana?”
“Tante sih mikir Pizza Hut.”
“Males ah ogut kalo Pizza Hut.”
“Trus Bernas maunya pengen makan apa?”
“Makan di Muara Karang aja tante. Di sono kan banyak pilihan, ntar kita pilih aja yang kita mau.”
“Oke deh. Mau cabut jam berapa?”
“Entaran aja tante. Bernas masih belon laper. Jam 7 aja berangkat. Tante duduk aja dulu.”
Kami berdua nonton bersebelahan di sofa yang empuk. Sore itu tante Ani mengenakan baju yang lumayan sexy. Dia memakai rok ketat sampai 10 cm di atas lutut, dan atasannya memakai baju berwarna orange muda tanpa lengan dengan bagian dada atas terbuka (kira- kira antara 12 sampai 15cm kebawah dari pangkal lehernya). Kaki tante Ani putih mulus, tanpa ada bulu kaki 1 helai pun. Mungkin karena dia rajin bersalon ria di salon ibu, paling tidak seminggu 2 kali. Bagian dada atasnya juga putih mulus. Kami nonton TV dengan acara/channel
seadanya saja sambil menunggu sampai jam 7 malam. Kami juga kadang-kadang ngobrol santai, kebanyakan tante Ani suka bertanya
tentang kehidupan sekolahku sampai menanyakan tentang kehidupan cintaku di sekolah.
Aku mengatakan kepada tante Ani bahwa aku saat itu masih belum mau terikat dengan masalah percintaan jaman SMA. Kalo
naksir sih ada, cuma aku tidak sampai mengganggap terlalu serius. Semakin lama kami berbincang-bincang, tubuh tante Ani semakin mendekat ke arahku. Bau parfum Chanel yg dia pakai mulai tercium jelas di hidungku. Tapi aku tidak mempunyai pikiran
apa-apa saat itu.
Tiba-tiba tante Ani berkata, “Bernas, kamu suka dikitik-kitik ngga kupingnya?”.
“Huh? Mana enak?” tanyaku.
“Mau tante kitik kuping Bernas?” tante Ani menawarkan/
“Hmmm…boleh aja. Mau pake cuttonbud?” tanyaku sekali lagi.
“Ga usah, pake bulu kemucing itu aja” tundas tante Ani.
“Idih jorok nih tante. Itu kan kotor. Abis buat bersih-bersih ama mbak.” jawabku spontan.
“Alahh sok bersihan kamu Bernas. Kan cuman ambil 1 helai bulunya aja. Lagian kamu masih belum mandi kan? Jorok mana hayo!” tangkas tante Ani.
“Percaya tante deh, kamu pasti demen. Sini baring kepalanya di paha tante.” lanjutnya.
Seperti sapi dicucuk hidungnya, aku menurut saja dengan tingkah polah tante Ani. Ternyata memang benar adanya, telinga ‘dikitik-kitik’ dengan bulu kemucing benar-benar enak tiada tara. Baru kali itu aku merasakan enaknya, serasa nyaman dan pengen tidur aja jadinya. Dan memang benar, aku jadi tertidur sampe sampai jam sudah menunjukkan pukul 7 lewat. Suara lembut membisikkan telingaku.
“Bernas, bangun yuk. Tante dah laper nih.” katatante.
“Erghhhmmm … jam berapa sekarang tante.” tanyaku dengan mata yang masih setengah terbuka.
“Udah jam 7 lewat Bernas. Ayo bangun, tante dah laper. Kamu dari tadi asyik tidur tinggalin tante. Kalo dah enak jadi lupa orang kamu yah.” kata tante sambil mengelus lembut rambutku.
“Masih ngantuk nih tante … makan di rumah aja yah? Suruh mbak masak atau beli mie ayam di dekat sini.”
“Ahhh ogah, tante pengen jalan-jalan juga kok. Bosen dari tadi bengong di sini.”
“Oke oke, kasih Bernas lima menit lagi deh tante.” mintaku.
“Kagak boleh. Tante dah laper banget, mau pingsan dah.”
Sambil malas-malasan aku bangun dari sofa. Kulihat tante Ani sedang membenarkan posisi roknya kembali. Alamak gaya tidurku kok jelek sekali sih sampe-sampe rok tante Ani tersingkap tinggi banget. Berarti dari tadi aku tertidur di atas paha mulus tante Ani, begitulah aku berpikir. Ada rasa senang juga di dalam hati. Setelah mencuci muka, ganti pakaian, kita berdua berpamitan kepada pembantu rumah kalau kita akan makan keluar. Aku berpesan kepada pembantu agar jangan menunggu aku pulang, karena aku yakin kita pasti bakal lama. Jadi aku membawa kunci rumah, untuk berjaga-jaga apabila pembantu rumah sudah tertidur.
“Nih kamu yang setir mobil tante dong.”
“Ogah ah, Bernas cuman mau setir Baby Benz tante. Kalo yang ini males ah.” candaku. Waktu itu tante Ani membawa sedan Honda, bukan
Mercedes-nya.
“Belagu banget kamu. Kalo ngga mau setir ini, bawa itu Benz-nya mama.” balas tante Ani.
“No way … bisa digantung ogut ama papa mama.” jawabku.
“Iya udah kalo gitu setir ini dong.” jawab tante Ani sambil tertawa kemenangan.
Mobil melaju menyusuri jalan-jalan kota Jakarta.
Tante Ani seperti bebek saja, ngga pernah stop ngomong and gossipin teman-temannya. Aku jenuh banget yang mendengar. Dari yang cerita pacar teman-temannya lah, sampe ke mantan tunangannya. Sesampai di daerah Muara Karang, aku memutuskan untuk makan bakmi bebeknya yang tersohor di sana. Untung tante Ani tidak protes dengan pilihan saya, mungkin karena sudah terlalu lapar dia.
Setelah makan, kita mampir ke tempat main bowling. Abis main bowling tante Ani mengajakku mampir ke rumahnya. Tante Ani tinggal sendiri di apartemen di kawasan Taman Anggrek. Dia memutuskan untuk tinggal sendiri karena alasan pribadi juga. Ayah dan ibu tante Ani sendiri tinggal di Bogor. Saat itu aku tidak tau apa pekerjaan sehari-hari tante Ani, yang tante Ani tidak pernah merasa kekurangan materi. Apartemen tante Ani lumayan bagus dengan tata interior yang classic. Di sana tidak ada siapa- siapa yang tinggal di sana selain tante Ani. Jadi aku bisa maklum apabila tante Ani sering keluar rumah.
Pasti jenuh apabila tinggal sendiri di apartemen.
“Anggap rumah sendiri Bernas. Jangan malu-malu. Kalau mau minum ambil aja sendiri yah.”
“Kalo begitu, Bernas mau yang ini.” sambil menunjuk botol Hennessy V.S.O.P yang masih disegel.
“Kagak boleh, masih dibawah umur kamu.”
cegah tante Ani.
“Tapi Bernas dah umur 17 tahun. Mestinya ngga masalah” jawabku dengan bermaksud membela diri.
“Kalo kamu memaksa yah udah. Tapi jangan buka yang baru, tante punya yang sudah dibuka botolnya.”.
Tiba-tiba suara tante Ani menghilang dibalik master bedroomnya. Aku menganalisa ruangan sekitarnya. Banyak lukisan-lukisan dari dalam dan luar negeri terpampang di dinding. Lukisan dalam negerinya banyak yang bergambarkan wajah-wajah cantik gadis-gadis Bali. Lukisan yang berbobot tinggi, dan aku yakin pasti bukan barang yang murahan.
“Itu tante beli dari seniman lokal waktu tante ke Bali tahun lalu” kata tante Ani memecahkan suasana hening sebelumnya.
“Bagus tante. High taste banget. Pasti mahal yah?!” jawabku kagum.
“Ngga juga sih. Tapi tante tidak pernah menawar harga dengan seniman itu, karena seni itu mahal.
Kalo tante tidak cocok dengan harga yang dia tawarkan, tante pergi saja.” Aku masih menyibukkan diri mengamati lukisan-
lukisan yang ada, dan tante Ani tidak bosan menjelaskan arti dari lukisan-lukisan tersebut. Tante Ani ternyata memiliki kecintaan tinggi terhadap seni lukis.
“Ok deh. Kalo begitu Bernas mau pamit pulang dulu tante. Dah hampir jam 11 malam. Tante istirahat aja dulu yah.” kataku.
“Ehmmm … tinggal dulu aja di sini. Tante juga masih belum ngantuk. Temenin tante bentar yah.” mintanya sedikit memohon.
Aku juga merasa kasihan dengan keadaan tante Ani yang tinggal sendiri di apartemen itu. Jadi aku memutuskan untuk tinggal 1 atau 2 jam lagi, sampai nanti tante Ani sudah ingin tidur.
“Kita main UNO yuk?!” ajak tante Ani.
“Apa itu UNO?!” tanyaku penasaran.
“Walah kamu ngga pernah main UNO yah?” tanya tante Ani. Aku hanya menggeleng- gelengkan kepala.
“Wah kamu kampung boy banget sih.” canda tante Ani. Aku hanya memasang tampak cemburut canda.
Tante Ani masuk ke kamarnya lagi untuk membawa kartu UNO, dan kemudian masuk ke dapur untuk mempersiapkan hidangan bersama
minuman. Tante Ani membawa kacang mente asin, segelas wine merah, dan 1 gelas Hennessy V.S.O.P on rock (pake es batu). Setelah mengajari aku cara bermain UNO, kamipun mulai bermain-main santai sambil makan kacang mente. Hennesy yang aku teguk benar-benar keras, dan baru 2 atau 3 teguk badanku terasa panas sekali. Aku biasanya hanya dikasih 1 sisip saja oleh ayah, tapi ini skrg aku minum sendirian.
Kepalaku terasa berat, dan mukaku panas. Melihat kejadian ini, tante Ani menjadi tertawa, dan mengatakan bahwa aku bukan bakat peminum. Terang aja, ini baru pertama kalinya aku minum 1 gelas Hennessy sendirian.
“Tante, anterin Bernas pulang yah. Kepala ogut rada berat.”
“Kalo gitu stop minum dulu, biar ngga tambah pusing.” jawab tante Ani.
Aku merasa tante Ani berusaha mencegahku untuk pulang ke rumah. Tapi lagi-lagi, aku seperti sapi dicucuk hidung-nya, apa yang tante Ani minta, aku selalu menyetujuinya. Melihat tingkahku yang suka menurut, tante Ani mulai terlihat lebih berani lagi. Dia mengajakku main kartu biasa saja, karena bermain UNO kurang seru kalau hanya berdua. Paling tepat untuk bermain UNO itu berempat.
Tapi permainan kartu ini menjadi lebih seru lagi. Tante mengajak bermain blackjack, siapa yang kalah harus menuruti permintaan pemenang. Tapi kemudian tante Ani ralat menjadi ‘Truth & Dare’ game. Permainan kami menjadi seru dan terus terang aja tante Ani sangat menikmati permainan ‘Truth & Dare’, dan dia sportif apabila dia kalah. Pertama-tama bila aku menang dia selalu meminta hukuman dengan ‘Truth’ punishment, lama-lama aku menjadi semakin berani menanyakan yang bukan-bukan.
Sebaliknya dengan tante Ani, dia lebih suka memaksa aku untuk memilih ‘Dare’ agar dia bisa lebih leluasa mengerjaiku. Dari yang disuruh pushup 1 tangan, menari balerina, menelan es batu seukuran bakso, dan lain-lain. Mungkin juga tidak ada pointnya buat tante Ani menanyakan the ‘Truth’ tentang diriku, karena kehidupanku terlihat lurus-lurus saja menurutnya. Ini adalah juga kesempatan untuk menggali the ‘Truth’ tentang kehidupan pribadinya. Aku pun juga heran kenapa aku menjadi tertarik untuk mencari tahu kehidupannya yang sangat pribadi. Mula-mula aku bertanya tentang mantan tunangannya, kenapa sampai batal pernikahannya. Sampai pertanyaan yang
menjurus ke seks seperti misalnya kapan pertama kali dia kehilangan keperawanan.
Semuanya tanpa ragu-ragu tante Ani jawab semua pertanyaan-pertanyaan pribadi yang aku lontarkan. Kini permainan kami semakin wild dan berani. Tante Ani mengusulkan untuk mengkombinasikan ‘Truth & Dare’ dengan ‘Strip Poker’. Aku pun semakin bergairah dan menyetujui saja usul tante Ani.
“Yee, tante menang lagi. Ayo lepas satu yang menempel di badan kamu.” kata tante Ani dengan senyum kemenangan.
“Jangan gembira dulu tante, nanti giliran tante yang kalah. Jangan nangis loh yah kalo kalah.” jawabku sambil melepas kaus kakiku.
Selang beberapa lama … “Nahhh, kalah lagi … kalah lagi … lepas lagi … lepas lagi.”. Tante Ani kelihatan gembira sekali. Kemudian aku melepas kalung emas pemberian ibu yang aku kenakan.
“Ha ha ha … two pairs, punya tante one pair. Yes yes … tante kalah sekarang. Ayo lepas lepas …” candaku sambil tertawa gembira.
“Jangan gembira dulu. Tante lepas anting tante.” jawab tante sambil melepas anting-anting yang dikenakannya. Aku makin bernapsu untuk bermain. Mungkin bernapsu untuk melihat tante Ani bugil juga. Aku pengen sekali menang terus.
“Full house … yeahhh … kalah lagi tante. Ayo lepas … ayo lepas …”. Aku kini menari-nari gembira.
Terlihat tante Ani melepas jepit rambut merahnya, dan aku segera saja protes “Loh, curang kok lepas yang itu?”.
“Loh, kan peraturannya lepas semuanya yang menempel di tubuh. Jepit tante kan nempel di rambut dan rambut tante melekat di kepala. Jadi masih dianggap menempel dong.” jawabnya membela.
Aku rada gondok mendengar pembelaan tante Ani. Tapi itu menjadikan darahku bergejolak lebih deras lagi.
“Straight … Bernas … One Pair … Yes tante menang. Ayo lepas! Jangan malu-malu!” seru tante Ani girang. Aku pun segera melepas jaket
aku yang kenakan. Untung aku selalu memakai jaket tipis biar keluar malam. Lihatlah pembalasanku, kataku dalam hati.
“Bernas Three kind … tante … one pair … ahhh … lagi-lagi tante kalah” sindirku sambil tersenyum.
Dan tanpa diberi aba-aba dan tanpa malu-malu, tante melepas baju atasannya. Aku serentak menelan ludah, karena baju atasan tante telah terlepas dan kini yang terlihat hanya BH putih tante. Belahan payudara-nya terlihat jelas, putih bersih. Bernas junior dengan serentak langsung menegang, dan kedua mataku terpaku di daerah belahan dadanya.
“Hey, lihat kartu dong. Jangan liat di sini.” canda tante sambil menunjuk belahan dadanya. Aku kaget sambil tersenyum malu.
“Yes Full House, kali ini tante menang. Ayo buka … buka”. Tampak tante Ani girang banget bisa dia menang. Kali ini aku lepas atasanku, dan kini aku terlanjang dada.
“Ck ck ck … pemain basket nih. Badan kekar dan hebat. Coba buktikan kalo hokinya juga hebat.” sindir tante Ani sambil tersenyum.
Setelah menegak habis wine yang ada di gelasnya, tante Ani kemudian beranjak dari tempat duduknya menuju ke dapur dengan
keadaan dada setengah terlanjang. Tak lama kemudian tante Ani membawa sebotol wine merah yang masih 3/4 penuh dan sebotol
V.S.O.P yang masih 1/2 penuh.
“Mari kita bergembira malam ini. Minum sepuas- puasnya.” ucap tante Ani. Kami saling ber-tos ria dan kemudian melanjutkan kembali permainan strip poker kami.
“Yesss … ” seruku dengan girangnya pertanda aku menang lagi.
Tanpa disuruh, tante Ani melepas rok mininya dan aduhaiii, kali ini tante Ani hanya terliat mengenakan BH dan celana dalam saja. Malam itu dia mengenakan celana dalam yang kecil imut berwarna pink cerah. Tidak tampak ada bulu-bulu pubis disekitar selangkangannya. Aku
sempat berpikir apakah tante Ani mencukur semua bulu-bulu pubisnya.
Muka tante Ani sedikit memerah. Kulihat tante Ani sudah menegak abis gelas winenya yang kedua. Apakah dia berniat untuk mabuk malam ini? Aku kurang sedikit perduli dengan hal itu. Aku hanya bernafsu untuk memenangkan permainan strip poker ini, agar aku bisa melihat tubuh terlanjang tante Ani.
“Yes, yes, yes …” senyum kemenangan terlukis indah di wajahku.
Tante Ani kemudian memandangkan wajahku selang beberapa saat, dan berkata dengan nada genitnya “Sekarang Bernas tahan napas yah. Jangan sampai seperti kesetrum listrik loh”. Kali ini tante Ani melepaskan BH-nya dan serentak jatungku ingin copot. Benar apa kata tante Ani, aku seperti terkena setrum listrik bertegangan tinggi. Dadaku sesak, sulit bernapas, dan jantungku berdegup kencang. Inilah pertama kali aku melihat payudara wanita dewasa secara jelas di depan mata. Payudara tante Ani sungguh indah dengan putingnya yang berwarna coklat muda menantang.
“Aih Bernas, ngapain liat susu tante terus. Tante masih belum kalah total. Mau lanjut ngga?” tanya tante Ani. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pertanda ‘iya’.
“Pertama kali liat susu cewek yah? Ketahuan nih.
Dasar genit kamu.” tambah tante Ani lagi. Aku sekali lagi hanya bisa mengangguk malu. Aku menjadi tidak berkonsentrasi bermain, mataku sering kali melirik kedua payudaranya dan selangkangannya. Aku penasaran sekali ada apa dibalik celana dalam pinknya itu. Tempat di mana menurut teman-teman sekolah adalah surga dunia para lelaki. Aku ingin sekali melihat
bentuknya dan kalo bisa memegang atau meraba-raba.
Akibat tidak berkonsentrasi main, kali ini aku yang kalah, dan tante Ani meminta aku melepas celana yang aku kenakan. Kini aku terlanjang dada dengan hanya mengenakan celana dalam saja. Tante Ani hanya tersenyum-senyum saja sambil menegak wine-nya lagi. Aku sengaja menolak tawaran tante Ani untuk menegak V.S.O.P-nya, dengan alasan takut pusing lagi. Karena kami berdua hanya tinggal 1 helai saja di tubuh kami, permainan kali ini ada finalnya.
Babak penentuan apakah tante Ani akan melihat aku terlanjang bulat atau sebaliknya. Aku berharap malam itu malaikat keberuntungan
berpihak kepadaku. Ternyata harapanku sirna, karena ternyata malaikat keberuntungan berpihak kepada tante Ani. Aku kecewa sekali, dan wajah kekecewaanku terbaca jelas oleh tante Ani.
Sewaktu aku akan melepas celana dalamku dengan malu-malu, tiba-tiba tante Animencegahnya.
“Tunggu Bernas. Tante ngga mau celana dalam mu dulu. Tante mau Dare Bernas dulu. Ngga seru kalo game-nya cepat habis kayak begini”
kata tante Ani.
Setelah meneguk wine-nya lagi, tante Ani terdiam sejenak kemudian tersenyum genit.
Senyum genitnya ini lebih menantang daripadayang sebelum-sebelumnya.
“Tante dare Bernas untuk … hmmm … cium bibir tante sekarang.” tantang tante Ani.
“Ahh, yang bener tante?” tanyaku.
“Iya bener, kenapa ngga mau? Jijik ama tante?” tanya tante Ani.
“Bukan karena itu. Tapi … Bernas belum pernah soalnya.” jawabku malu-malu.
“Iya udah, kalo gitu cium tante dong. Sekalian pelajaran pertama buat Bernas.” kata tante Ani.
Tanpa berpikir ulang, aku mulai mendekatkan wajahku ke wajah tante Ani. Tante Ani kemudian memejamkan matanya. Pertamanya aku hanya menempelkan bibirku ke bibir tante Ani. Tante Ani diam sebentar, tak lama kemudian bibirnya mulai melumat-lumat bibirku perlahan-lahan. Aku mulai merasakan bibirku mulai basah oleh air liur tante Ani. Bau wine merah sempat tercium di hidungku. Aku pun tidak mau kalah, aku berusaha menandinginya dengan membalas lumatan bibir tante Ani.
Maklum ini baru pertama, jadi aku terkesan seperti anak kecil yang sedang melumat-lumat ice cream. Selang beberapa saat, aku kaget dengan tingkah baru tante Ani. Tante Ani dengan serentak menjulurkan lidahnya masuk ke dalam mulutku. Anehnya aku tidak merasa jijik sama sekali, malah senang dibuatnya. Aku temukan lidahku dengan lidah tante Ani, dan kini lidah kami kemudian saling berperang di dalam mulutku dan terkadang puladi dalam mulut tante Ani.
Kami saling berciuman bibir dan lidah kurang lebih 5 menit lamanya. Nafasku sudah tak karuan, dah kupingku panas dibuatnya. Tante Ani seakan-akan menikmati betul ciuman ini. Nafas tante Ani pun masih teratur, tidak ada tanda sedikitpun kalau dia tersangsang.
“Sudah cukup dulu. Ayo kita sambung lagi pokernya” ajak tante Ani. Aku pun mulai mengocok kartunya, dan pikiranku masih terbayang saat kita berciuman.
Aku ingin sekali lagi mencium bibir lembutnya. Kali ini aku menang, dan terang saja aku meminta jatah sekali lagi berciuman dengannya.
Tante Ani menurut saja dengan permintaanku ini, dan kami pun saling berciuman lagi. Tapi kali ini hanya sekitar 2 atau 3 menit saja.
“Udah ah, jangan ciuman terus dong. Ntar Bernas bosan ama tante.” candanya.
“Masih belon bosan tante. Ternyata asyik juga yah ciuman.” jawabku.
“Kalo ciuman terus kurang asyik, kalo mau sih …” seru tante Ani kemudian terputus. Kalimat tante Ani ini masih menggantung bagiku, seakan-akan dia ingin mengatakan sesuatu yang menurutku sangat penting. Aku terbayang-bayang untuk bermain ‘gila’ dengan tante Ani
malam itu.
Aku semakin berani dan menjadi sedikit tidak tau diri. Aku punya perasaan kalo tante Ani sengaja untuk mengalah dalam bermain poker malam itu. Terang aja aku menang lagi kali ini. Aku sudah terburu oleh napsuku sendiri, dan aku
sangat memanfaatkan situasi yang sedang berlangsung.
“Bernas menang lagi tuh. Jangan minta ciuman lagi yah. Yang lain dong …” sambut tante Ani sambil menggoda.
“Hmm … apa yah.” pikirku sejenak.
“Gini aja, Bernas pengen emut-emut susu tante Ani.” jawabku tidak tau malu.
Ternyata wajah tante Ani tidak tampak kaget atau marah, malah balik tersenyum kepadaku sambil berkata “Sudah tante tebak apa yang ada di dalam pikiran kamu, Bernas.”.
“Boleh kan tante?!” tanyaku penasaran.
Tante Ani hanya mengangguk pertanda setuju. Kemudian aku dekatkan wajahku ke payudara sebelah kanan tante Ani. Bau parfum harum yang menempel di tubuhnya tercium jelas di hidungku. Tanpa ragu-ragu aku mulai mengulum puting susu tante Ani dengan lembut. Kedua telapak tanganku berpijak mantap di atas karpet ruang tamu tante Ani, memberikan fondasi kuat agar wajahku tetap bebas menelusuri payudara tante Ani. AKu kulum bergantian puting kanan dan puting kiri-nya.
Kuluman yang tante Ani dapatkan dariku memberikan sensasi terhadap tubuh tante Ani.
Dia tampak menikmati setiap hisapan-hisapan dan jilatan-jilatan di puting susu-nya. Nafas tante Ani perlahan-lahan semakin memburu, dan terdengar desahan dari mulutnya. Kini aku bisa memastikan bahwa tante Ani saat ini sedang terangsang atau istilah modern-nya
‘horny’.
“Bernasss … kamu nakal banget sih! … haahhh … Tante kamu apain?” bisik tante Ani dengan nada terputus-putus. Aku tidak mengubris kata-kata tante Ani, tapi malah semakin bersemangat memainkan kedua puting susunya. Tante Ani tidak memberikan perlawanan sedikitpun, malah seolah-olah seperti memberikan lampu hijau kepadaku untuk melakukan hal-hal yang tidak
senonoh terhadap dirinya.
Aku mencoba mendorong tubuh tante Ani perlahan-lahan agar dia terbaring di atas karpet.
Ternyata tante Ani tidak menahan/menolak, bahkan tante Ani hanya pasrah saja. Setelah tubuhnya terbaring di atas karpet, aku menghentikan serangan gerilyaku terhadap payudara tante Ani. Aku perlahan-lahan menciumi leher tante Ani, dan oh my, wangi
betul leher tante Ani. Tante Ani memejamkan kedua matanya, dan tidak berhenti-hentinya mendesah. Aku jilat lembut kedua telinganya,
memberikan sensasi dan getaran yang berbeda terhadap tubuhnya. Aku tidak mengerti mengapa malam itu aku seakan-akan tau apa
yang harus aku lakukan, padahal ini baru pertama kali seumur hidupku menghadapi
suasana seperti ini.
Kemudian aku melandaskan kembali bibirku di atas bibir tante Ani, dan kami kembali berciuman mesra sambil berperang lidah di dalam mulutku dan terkadang di dalam mulut tante Ani. Tanganku tidak tinggal diam. Telapak tangan kiriku menjadi bantal untuk kepala belakang tante Ani, sedangkan tangan kananku meremas- remas payudara kiri tante Ani.
Tubuh tante Ani seperti cacing kepanasan. Nafasnya terengah-engah, dan dia tidak berkonsentrasi lagi berciuman denganku. Tanpa
diberi komando, tante Ani tiba-tiba melepas celana dalamnya sendiri. Mungkin saking ‘horny’-nya, otak tante Ani memberikan instinct
bawah sadar kepadanya untuk segera melepas celana dalamnya.
Aku ingin sekali melihat kemaluan tante Ani saat itu, namun tante Ani tiba-tiba menarik tangan kananku untuk mendarat di kemaluannya.
“Alamak …”, pikirku kaget. Ternyata kemaluan/ memek tante Ani mulus sekali. Ternyata semua bulu jembut tante Ani dicukur abis olehnya. Dia menuntun jari tengahku untuk memainkan daging mungil yang menonjol di memeknya.
Para pembaca pasti tau nama daging mungil ini yang aku maksudkan itu. Secara umum daging mungil itu dinamakan biji etil atau biji etel atau itil saja. Aku putar-putar itil tante Ani berotasi searah jarum jam atau berlawanan arah jarum jam. Kini memek tante Ani mulai basah dan licin.
“Bernasss … kamu yah … aaahhhh … kok berani ama tante?” tanya tante Ani terengah-engah.
“Kan tante yang suruh tangan Bernas ke sini?” jawabku.
“Masa sihhh … tante lupa … aahhh Bernasss … Bernasss … kamu kok nakal?” tanya tante Ani lagi.
“Nakal tapi tante bakal suka kan?” candaku gemas dengan tingkah tante Ani.
“Iyaaa … nakalin tante pleasee …” suara tante Ani mulai serak-serak basah.
Aku tetap memainkan itil tante Ani, dan ini membuatnya semakin menggeliat hebat. Tak lama kemudian tante Ani menjerit kencang
seakaan-akan terjadi gempa bumi saja. Tubuhnya mengejang dan kuku-kuku jarinya sempat mencakar bahuku. Untung saja tante Ani
bukan tipe wanita yang suka merawat kuku panjang, jadi cakaran tante Ani tidak sakit buatku.
“Bernasss … tante datangggg uhhh oohhh …” erang tante Ani. Aku yang masih hijau waktu itu kurang mengerti apa arti kata ‘datang’ waktu itu.
Yang pasti setelah mengatakan kalimat itu, tubuh tante Ani lemas dan nafasnya terengah-engah. Dengan tanpa di beri aba-aba, aku lepas celana dalamku yang masih saja menempel. Aku sudah lupa sejak kapan batang penisku tegak. Aku siap menikmati tubuh tante Ani, tapi sedikit ragu, karena takut akan ditolak oleh tante Ani. Keragu- raguanku ini terbaca oleh tante Ani. Dengan lembutnya tante Ani berkata,
“Bernas, kalo pengen tidurin tante, mendingan cepetan deh, sebelon gairah tante habis. Tuh liat kontol Bernas
dah tegak kayak besi. Sini tante pegang apa dah panas.”.
Aku berusaha mengambil posisi diatas tubuh tante. Gaya bercinta traditional. Perlahan-lahan kuarahkan batang penisku ke mulut vagina tante Ani, dan kucoba dorong penisku perlahan-lahan. Ternyata tidak sulit menembus pintu kenikmatan milik tante Ani. Selain mungkin karena basahnya dinding-dinding memek tante Ani yang memuluskan jalan masuk penisku, juga karena mungkin sudah beberapa batang penis yang telah masuk di dalam sana.
“Uhhh … ohhh … Bernasss … ahhh …” desah tante Ani.
Aku coba mengocok-kocok memek tante Ani dengan penisku dengan memaju-mundurkan pinggulku. Tante Ani terlihat semakin ‘horny’,
dan mendesah tak karuan.
“Bernasss … Bernasss … aduhhh Bernasss … geliiii tante … uhhh … ohhhh …” desah tante Ani. Di saat aku sedang asyik memacu tubuh tante Ani, tiba-tiba aku disadarkan oleh permintaan tante Ani, sehingga aku berhenti sejenak.
“Bernasss … kamu dah mau keluar belum … ” tanya tante Ani.
“Belon sih tante … mungkin beberapa saat lagi …
” jawabku serius.
“Nanti dikeluarin di luar yah, jangan di dalam.
Tante mungkin lagi subur sekarang, dan tante lupa suruh kamu pake pengaman. Lagian tante ngga punya stock pengaman sekarang. Jadi
jangan dikeluarin di dalam yah.” pinta tante Ani.
“Beres tante.” jawabku.
“Ok deh … sekarang jangan diam … goyangin lagi dong …” canda tante Ani genit.
Tanpa menunda banyak waktu lagi, aku lanjutkan kembali permainan kami. Aku bisa merasakan memek tante Ani semakin basah saja, dan aku pun bisa melihat bercak-bercak lendir putih di sekitar bulu jembutku. Aku mulai berkeringat di punggung belakangku. Muka dan telingaku panas. Tante Ani pun juga sama. Suara erangan dan desahan-nya makin terdengar panas saja di telingaku. Aku tidak menyadari bahwa aku sudah berpacu dengan tante Ani 20 menit lama-nya. Tanda-tanda akan adanya sesuatu yang bakalan keluar dari penisku
semakin mendekat saja.
“Bernasss … ampunnn Bernasss … kontolnyakok kayak besi aja … ngga ada lemasnya dari tadi… tante geliii banget nihhh …” kata tante Ani.
“Tante … Bernasss dah sampai ujung nih …” kataku sambil mempercepat goyangan pinggulku.
Puting tante Ani semakin terlihat mencuat menantang, dan kedua payudara pun terlihat mengeras. Aku mendekatkan wajahku ke wajah
tante Ani, dan bibir kami saling berciuman. Aku julur-julurkan lidahku ke dalam mulutnya, dan lidah kami saling berperang di dalam. Posisi bercinta kami tidak berubah sejak tadi. Posisiku tetap di atas tubuh tante Ani.
Aku percepat kocokan penisku di dalam memek tante Ani. Tante Ani sudah menjerit-jerit dan meracau tak karuan saja.
“Bernasss … tante datangggg … uhhh …ahhhhhh …” jerit tante Ani sambil memeluk erat tubuhku. Ini pertanda tante Ani telah ‘orgasme’.
Aku pun juga sama, lahar panas dari dalam penisku sudah siap akan menyembur keluar.
Aku masih ingat pesan tante Ani agar spermaku dilepas keluar dari memek tante Ani.
“Tante … Bernassss datangggg …” jeritku panik. Kutarik penisku dari dalam memek tante Ani, dan penisku memuncratkan spermanya di perut tante Ani. Saking kencangnya, semburan spermaku sampai di dada dan leher tante Ani.
“Ahhh … ahhhh … ahhhh …” suara jeritan kepuasanku.
“Idihhh … kamu kecil-kecil tapi spermanya banyak bangettt sih …” canda tante Ani. Aku hanya tersenyum saja. Aku tidak sempat
mengomentari candaan tante Ani.
Setelah semua sperma telah tumpah keluar, aku merebahkan tubuhku di samping tubuh tante Ani. Kepalaku masih teriang-iang dan nafasku masih belum stabil. Mataku melihat ke langit- langit apartment tante Ani. Aku baru saja menikmati yang namanya surga dunia.
Tante Ani kemudian memelukku manja dengan posisi kepalanya di atas dadaku. Bau harum rambutku tercium oleh hidungku.
“Bernas puas ngga?” tanya tante Ani.
“Bukan puas lagi tante … tapi Bernas seperti baru saja masuk ke surga” jawabku.
“Emang memek tante surga yah?” canda tante Ani.
“Boleh dikata demikian.” jawabku percaya diri.
“Kalo tante puas ngga?” tanyaku penasaran.
“Hmmm … coba kamu pikir sendiri aja … yang pasti memek tante sekarang ini masih berdenyut-denyut rasanya. Diapain emang ama Bernas?” tanya tante Ani manja.
“Anuu … Bernas kasih si Bernas Junior … tuh tante liat jembut Bernas banyak bercak-bercak lendir. Itu punya dari memek tante tuh. Banjir keluar tadi.” kataku.
“Idihhh … mana mungkin …” bela tante Ani sambil mencubit penisku yang sudah mulai loyo.
“Bernas sering-sering datang ke rumah tante aja.
Nanti kita main poker lagi. Mau kan?” pinta tante Ani.
“Sippp tante.” jawabku serentak girang.
Malam itu aku nginap di rumah tante Ani. Keesokan harinya aku langsung pulang ke rumah. Aku sempat minta jatah 1 kali lagi
dengan tante Ani, namum ajakanku ditolak halus olehnya karena alasan dia ada janji dengan teman-temannya. Sejak saat itu aku menjadi teman seks gelap tante Ani tanpa sepengetahuan orang lain terutama ayah dan ibu. Tante Ani senang bercinta yang bervariasi dan dengan lokasi yang bervariasi pula selain apartementnya sendiri.
Kadang bermain di mobilnya, di motel kilat yang hitungan charge-nya per jam, di ruang VIP spa kecantikan ibuku (ini aku berusaha keras untuk menyelinap agar tidak diketahui oleh para pegawai di sana). Tante Ani sangat menyukai dan menikmati seks. Menurut tante Ani seks dapat membuatnya merasa enak secara jasmani dan rohani, belum lagi seks yang teratur sangatlah baik untuk kesehatan. Dia pernah
menceritakan kepadaku tentang rahasia awet muda bintang film Hollywood tersohor bernama Elizabeth Taylor, yah jawabannya hanya singkat saja yaitu seks dan diet yang teratur.
Tante Ani paling suka ‘bermain’ tanpa kondom. Tapi dia pun juga tidak ingin memakai sistem pil sebagai alat kontrasepsi karena dia sempat alergi saat pertama mencoba minum pil kontrasepsi. Jadi di saat subur, aku diharuskan memakai kondom. Di saat setelah selesai masa menstruasinya, ini adalah saat di mana kondom boleh dilupakan untuk sementara dulu dan aku bisa sepuasnya berejakulasi di dalam memeknya. Apabila di saat subur dan aku/tante Ani lupa menyetok kondom, kita masih saja nekat bermain tanpa kondom dengan
berejakulasi di luar (meskipun ini rawan kehamilannya tinggi juga).
Hubungan gelap ini sempat berjalan hampir 4 tahun lamanya. Aku sempat memiliki perasaan cinta terhadap tante Ani. Maklum aku masih
tergolong remaja/pemuda yang gampang terbawa emosi. Namun tante Ani menolaknya dengan halus karena apabila hubunganku dan tante Ani bertambah serius, banyak pihak luar yang akan mencaci-maki atau mengutuk kami.
Tante Ani sempat menjauhkan diri setelah aku mengatakan cinta padanya sampai aku benar-benar ‘move on’ dari-nya. Aku lumayan patah
hati waktu itu (hampir 1.5 tahun), tapi aku masih memiliki akal sehat yang mengontrol perasaan sakit hatiku. Saat itu pula aku cuti ‘bermain’ dengan tante Ani.
Saat ini aku masih berhubungan baik dengan tante Ani. Kami kadang-kadang menyempatkan diri untuk ‘bermain’ 2 minggu sekali atau kadang-kadang 1 bulan sekali. Tergantung dari mood kami masing-masing. Tante Ani sampai sekarang masih single. Aku untuk sementara ini juga masih single. Aku putus dengan pacarku sekitar 6 bulan yang lalu. Sejak putus dengan pacarku, tante Ani sempat menjadi pelarianku, terutama pelarian seks. Sebenarnya ini tidak benar dan kasihan tante Ani, namun tante Ani seperti mengerti tingkah laku lelaki yang sedang patah hati pasti akan mencari seorang pelarian.
Jadi tante Ani tidak pernah merasa bahwa dia adalah pelarianku, tapi sebagai seorang teman yang ingin membantu meringkankan beban
perasaan temannya.

Selasa, 19 Mei 2015

Kak Rini Yang Mengoda

Kak Rini Yang Mengoda

cerita dewasa

sewaktu aku masih kuliah di Kota M, sekitar 8 tahun lalu, dan sekarang umurku sudah 29 tahun dan masih membujang. Kisah ini adalah benar-benar nyata dan bukan fiktif. Semua nama dalam kisah ini adalah nama samaran.

Setelah tamat SMA di kota kelahiranku, aku (Erick) melanjutkan pendidikanku di salah satu PT negeri di Kota M. Awalnya aku tinggal sendiri (kost) disuatu tempat yang agak jauh dari tempatku kuliah, karena hanya ditempat itu aku mendapatkan rumah kost yang relatif lebih murah dari tempat yang lain. Setelah kuliah selama hampir setahun, aku berlibur kembali ke kota kelahiranku.
Selama liburan tersebut, aku dikenalkan oleh keluargaku dengan salah seorang saudara sepupuku yang ternyata juga tinggal di Kota M tempat aku kuliah. Namun karena tidak saling kenal baik, walaupun masih saudara dekat, kami saling tidak mengetahui kalau kami berada satu kota selama ini. Saudara sepupu ini, sebut saja Kak Rini, sebelum menikah dengan Mas Tanto, lahir dan besar di kota Jakarta bersama orang tuanya, keluarga Tante Ade.
Selama 2 tahun pernikahannya dan menetap di kota M, Kak Rini belum dikaruniai anak, mungkin disebabkan karena kesibukan mereka berdua, Kak Rini yang seorang karyawan bank swasta, dan Mas Tanto yang seorang dosen. Saat perkenalan itu, Rini telah berusia 26 tahun, 5 tahun lebih tua dariku dan Mas Tanto berusia 34 Tahun.
Keberadaan Kak Rini di kota kelahiranku dalam rangka mengunjungi kakek dan neneknya, yang juga masih saudara dengan nenekku. Selama liburan kami, aku lebih banyak menemani Rini keliling kota dan antar jemput mengunjungi keluarga yang lain, Mas Tanto tidak datang menemani berlibur.
“Dik Erick rencana balik ke Kota M, kapan?”
Tanya Kak Rini sewaktu aku mengantarnya pulang kerumah neneknya, dari belakang sadel boncengan motor milik kakakku.
“Mungkin seminggu lagi.”
Jawabku sambil mencoba merasakan sentuhan payudaranya dipunggungku.
Perlu pembaca ketahui, dengan tinggi sekitar 168 cm dan berat ideal, ukuran dada 36A dengan wajah cantik dan manis dan kulit putih mulus yang ditumbuhi bulu-bulu halus sensasional, membuat aku tidak merasa bosan dan capek menemani Kak Rini keliling kota dan mengantarnya menemani kemana saja dia pergi.
“Kalau begitu, pulangnya dengan saya saja, ya?!”
Katanya seperti berbisik ditelingaku karena derasnya angin karena laju kendaraan.
“Terserah kakak aja deh.. ” kataku menyepakati ‘perjanjian’ itu.
Seminggu setelah itu, kami pun berangkat pulang bersama naik kapal laut ke Kota M selama satu hari satu malam perjalanan. Rencananya, setiba di Kota M, aku akan diperkenalkan ke suaminya dan sekalian mengajak aku tinggal bersama mereka (selama ini mereka hanya tinggal berdua di kompleks perumahan), karena rumah mereka masih cukup besar untuk ditempati hanya berdua saja.
Singkat cerita, aku pun diperkenalkan ke Mas Tanto yang mau menerimaku dengan senang hati dan aku pun mengemasi semua barangku dari tempat kostku ke rumah mereka. Dan disinilah awalnya cerita petualangan seksku dengan Kak Rini.
Sebagai wanita cantik dan menarik, aku pikir semua lelaki akan terpesona oleh daya tarik sensual saudara sepupuku ini. Akupun merasakannya sejak pertama kenalan, menemaninya selama liburan berkeliling kota, dan terlebih selama perjalanan dengan kapal laut kembali ke Kota M. Masih teringat waktu pertama kali berjabatan tangan, dengan senyum manisnya dia memperkenalkan diri.
Wajahnya mirip dengan salah satu penyiar acara kriminal di SCTV. Aku merasakan sentuhan lembut jemarinya waktu aku memegang tangannya, sentuhan sensasional di kulitku ketika bersentuhan dengan tangannya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, aroma tubuh dan rambutnya waktu berjalan berdampingan, juga hembusan nafasnya kalau berbicara padaku yang kadang-kadang terlalu dekat dengan wajahku.. pokoknya semua sensasi yang dimilikinya membuat aku berdebar dan membuat aku konak.
Aku tak tahu (pada waktu itu) apakah hal itu disengaja atau tidak (setelah beberapa tahun aku tahu ternyata itu dia sengaja untuk memancing responku menurut pengakuannya!), yang jelas selama liburan, aku belum berani menunjukkan reaksiku. Nanti setelah kejadian di atas kapal laut yang membawa kami ke Kota M, baru aku berani menunjukkan ‘keberanianku’ pada Kak Rini, walau dengan jantung dag dig dug..
Diatas kapal laut yang sesak karena penumpang yang banyak, kami mendapatkan tempat yang lumayan ‘strategis’, walaupun itu bukan tempat yang telah kami bayar untuk perjalanan kami. Bersama dengan beberapa penumpang lain (yang agak lanjut usia dengan kebanyakan wanita), kami menempati sebuah sudut ruang kapal yang agak panas, hal itu membuat kami kegerahan.
Menjelang tidur malam, Rini dengan memakai kemeja yang didalamnya dilapisi kaos oblong tanpa lengan dengan celana jeans, terlihat mulai mengatur tempat untuk tidur disudut merapat kedinding ruang, sedangkan aku dengan kaos oblong juga dan celana pendek selutut berada diantara Kak Rini dengan penumpang lain. Sebelum tidur, Kak Rini membaca sebuah majalah dan aku mengisi TTS. setelah membaca majalah, Kak Rini sudah tak tahan lagi kantuknya dan tertidur, sedangkan aku melanjutkan mengisi TTS dan membaca majalah.
Tak lama sesudahnya, lampu di ruangan itu dipadamkan, mungkin karena penumpang lainpun sudah ingin memjamkan mata, walaupun masih ada lampu yang menyala di tengah ruangan tapi tidak cukup untuk menerangi tempat aku membaca majalah, akupun bersandar sambil duduk berusaha untuk tidur. Tapi karena udara yang agak panas dan menggerahkan, mataku susah terpejam. Kak Rini pun bangun dan melepas kemejanya (tinggal kaos oblong) dan kemejanya itu dipakai untuk menyelimuti badannya sambil tidur. Sewaktu Kak Rini melepas kemejanya, dengan jarak sekitar 15 cm dari hidungku, aku bisa merasakan aroma tubuhnya yang terpancar dari ketiaknya sewaktu lengannya bergerak melepas kemejanya.
Aroma itu campuran aroma keringat dan sisa parfumnya, dan itu membuatku benar-benar melayang.. membayangkan aroma tubuh yang sensasional seperti itu. Dan diketiaknya yang putih, aku sempat melihat secara samar rambut halus hitam yang semakin membuatku ingin merasakan langsung aroma ketiaknya. Hmm.. tak sadar aku memperbaiki posisi ‘junior’ di celana pendekku, dan hal itu terlihat oleh Kak Rini.
“Belum tidur, rick?”
Tanyanya berbisik sebelum berbaring di sampingku.
“Belum nih, duluan aja!”
Jawabku sambil menatap matanya.
Rinipun akhirnya berbaring dengan memiringkan badannya ke arahku, sehingga kepalanya dengan pahaku hanya berjarak sekian centi. Akupun terus berusaha tidur sambil duduk karena mataku belum mau terpejam. Hembusan nafasnya terasa menggelitik paha kiriku bagian luar, dan mungkin saja Rini tahu kalau penisku lagi tegang karena celana pendekku di sekitar penisku agak menonjol berdiri.
Setelah capek duduk dan mataku terasa muali berat dengan angin laut yang mulai bertiup sepoi-sepoi, akupun berbaring di sisi Kak Rini. Saat aku mengambil posisi baring, Rini memberiku sedikit ruang sambil mengangkat lengan kanannya, dan lagi-lagi tercium aroma tubuh yang makin membuatku tegang. Walaupun aku masih berbaring terlentang dan Rini sedikit condong ke arahku, aku bisa merasakan bahwa kepalaku tepat berada di bawah ketiaknya karena aku merasakan lengan Kak Rini ada diatas kepalaku.
Kantukku pun hilang karena ‘posisi’ yang menguntungkan ini, aku sisa mengarahkan mukaku ke arah Rini dan ketiaknya sudah pasti ada di mukaku. Aku coba untuk diam, namun rangsangan yang timbul dari aroma tubuh Kak Rini yang perlahan mulai tercium membuat aku gelisah. Lama setelah itu, sewaktu aku merasakan nafas Rini yang beraturan menerpa wajahku, baru aku perlahan-lahan mengarahkan wajahku ke bawah ketiaknya dan..
Hmm aroma itu benar-benar membuat aku makin tak beraturan untuk bernafas, antara rasa senang, takut Kak Rini marah dan rangsangan yang terus membuat jantungku berdebar. Dengan jarak cuman sekita 3-4 cm antara hidungku dan ketiak putih itu, Kak Rini pasti bisa merasakan kegelisahanku, tapi mungkin dia sudah nyenyak sampai tidak merasakan hembusan nafas dan sentuhan ujung lidahku diketiaknya. Rasa kecut karena ketiak yang sedikit berkeringat itu tidak kuhiraukan, malah aku semakin terangsang dan kadang mendesah tertahan sambil memegang penisku yang makin keras.
Ketika aku sudah tak tahan lagi, dengan jantung berdegup kencang, perlahan aku mengambil jaket tebalku untuk menutupi celanaku yang semakin menonjol karena desakan penisku (+15 cm) sambil memiringkan badan ke arah Kak Rini sehingga penisku merapat di paha Kak Rini yang berbalut jeans dengan hidungku dan bibirku yang telah menempel di ketiaknya. Aku mencoba menahan nafasku yang memburu sambil melanjutkan jilatanku yang makin berani ke arah pangkal payudaranya. Semua itu aku lakukan dengan sangat hati-hati, takut membangunkan Kak Rini dan dia nampaknya masih seperti semula dengan nafas yang masih beraturan.
Dengan perlahan aku membuka kancing tarik celanaku, meyampingkan CD ku lalu kutarik penis yang sudah sangat tegang keluar. Meski hanya kepala penis dan sebagian batangnya yang bisa keluar dari celanaku, aku elus-eluskan di paha Kak Rini sampai aku merasa ada cairan bening keluar(bukan sperma yang kental) dan menempel di celana jeansnya. Mungkin aku akan terus menggesek-gesekkan kepala penisku sampai aku ejakulasi, kalau saja Kak Rini tidak bergerak sedikit menjauh dari tubuhku.
Kejadian itu berakhir sampai disitu, dan sewaktu bangun, Kak Rini tidak bicara soal tersebut, cuma ada sedikit ada rasa canggung diantara kami, sampai kami turun dari kapal dan tiba di rumah.
Sejak tinggal bersama Kak Rini dan suaminya, aku mencoba untuk menjadi adik yang baik, aku coba membuang semua pikiran jorok di kepalaku tentang Kak Rini dan mencoba menghindari Kak Rini dengan banyak beraktivitas di kampus atau di luar rumah. Sampai suatu saat, Mas Tanto mengambil Tugas Belajar ke Filipina selama 1 tahun.
Empat bulan setelah tinggal di rumah Kak Rini, Mas Tanto berencana akan berangkat ke Filipina, dan selama itu aku mencoba menjaga jarak dengan Kak Rini walaupun dia tetap baik dan ramah kepadaku. Kalau tidak ada kegiatan di kampus atau ditempat lain, aku banyak berkurung diri di kamar, dan kamipun bertiga cukup sibuk dengan urusan masing-masing, sehingga hanya waktu-waktu tertentu saja (Sabtu/Minggu) baru ketemu atau kumpul bersama.
Usahaku untuk menghindari berdekatan dengan Kak Rini adalah untuk membantu menghilangkan pesona sensualitasnya yang sering aku rasakan kalau berada dekatnya. Dan hal ini juga didukung karena Kak Rini sering berangkat pagi dan pulang kerja sore (aku biasanya yang paling akhir meninggalkan rumah) dan paling lambat tiba di rumah.
Satu-satunya yang paling sering menggodakau adalah pakaian-pakain kotor(terutama pakaian dalam Kak Rina) yang baru habis dipakainya, yang ditumpuk dalam keranjang pakaian didekat kamar mandi. Sering kali saat bangun pagi jam 08. 00 (kuliah agak siang) aku ‘memeriksa’ pakaian-pakaian tersebut (saat mereka telah berangkat kerja).
Aku sering mendapati pakaian kerjanya yang kemarin dan pakaian tidurnya semalam masih menyisakan aroma tubuh dan parfumnya, terlebih lagi celana dalamnya menyisakan cairan vaginanya yang harum (belakangan aku tahu vaginanya memang harum saat aku mengoralnya) dan sering aku ciumin dan jilati sambil beronani. Karena fantasi tersebut akan sampai sering menumpahkan spermaku di celana dalamnya atau pakaian kerjanya (tiap Sabtu baru di cuci), dan sewaktu pertama kali memuncratkan spermaku di CD nya.. aku takut Kak Rina tahu dan memarahiku.
Tapi sewaktu dia mencucinya pada hari Sabtu.. dia sepertinya tidak tahu atau pura-pura tidak tahu kalau spermaku sudah bercampur dengan sisa-sisa cairan vaginanya (kadang cairan vaginanya masih basah). Dan setelah Mas Tanto memberi tahu rencananya untuk ke Filipina dan menyuruhku untuk menjaga Kak Rina dan rumah aku semakin.. akhh.. berdebar-debar. Inilah awal yang menjadikan aku tahu kalau Kak Rina ternyata memiliki hasrat dan gairah seks yang tinggi serta mengajariku fantasi-fantasi bercinta. Hubungan kami ini telah berlangsung sampai 8 tahun dan kami sepertinya orang yang masih pacaran walaupun dia telah bersuami.
Dan satu hal lagi, adalah kesukaanku mengintip aktivitas Kak Rini bila berada dirumah. Kalau malam hari saat tidur dengan suaminya, aku sering mendengar erangan-erangan bercinta mereka. Bahkan aku pernah onani didepan kamarnya yang aku buka sedikit pintunya dan aku melihat Kak Rini lagi tidur dikamarnya dengan pakaian tipis dan seksi(saat itu suaminya belum pulang dari kantornya). Dan berapa kali kejadian-kejadian tak terduga yang membuat aku sakit kepala bila membayangkannya.. karena ingin segera merasakan bercinta dengan Kak Rini.
Tiba saatnya Mas Tanto berangkat ke Filipina, aku dan Kak Rini mengantarnya ke bandara dan Kak Rini langsung berangkat ke kantornya, sedangkan aku balik ke rumah karena hari itu aku tidak ada perkuliahan atau kegiatan lainnya di luar rumah. Setiba dirumah, aku langsung memeriksa keranjang tempat pakaian kotor Kak Rini. Disitu aku mendapati beberapa potong celana dalam dan BH Kak Rini dan daster yang dipakainya semalam.
Seperti biasa, aku mulai menciumi CD Kak Rini yang meninggalkan sedikit cairan vaginanya sambil mulai membayangkan aku menciumi vagina Kak Rini sambil mulai beronani. Aku buka semua pakaianku dan memakai CD Kak Rini yang lain sambil meremas-remas penisku di dalam CD Kak Rini.
Ketika asyik beronani, tiba-tiba telepon berdering, ternyata dari Kak Rini yang menanyakan apakah aku telah tiba dirumah atau belum. Aku berusaha untuk mengajak Kak Rini bicara lama di telepon sambil terus meremas penisku dan membayangkan sedang bercinta dengannya. Suaraku kedengaran parau karena rangsangan yang timbul dan aku berusaha mengajak bercanda Kak Rini:
“Jam berapa baliknya nanti Kak Rin?” Tanyaku,
“Seperti biasalah, kenapa emang?! kangen ya sama aku?” Balasnya bercanda,
“Nggak kok, cuman mau menjalankan tugas dengan baik, menjaga dan mengantar jemput kakak!” Jawabku dengan suara gugup karena aku semakin terangsang mendengar suara lembut Kak Rini.. “Kamu kenapa? kok suaramu parau begitu?!”
Aku cuma menjawab, “Masih ngantuk nih, habis bangun pagi-pagi ngantarin Mas Tanto!” Jawabku bohong dan..
“Akhh.. ”
Aku mencapai klimaks
“Udahan dong, aku mau tidur lagi.. nanti aja aku jemput!” kataku kelelahan karena karena spermaku telah terumpah di CD Kak Rini..
“Ya deh, aku tunggu.. awas kalau nggak jemput!” Katanya mengakhiri pembicaraan kami. Aku pun menyimpan kembali CD Kak Rini di keranjang dan aku benar-benar puas onani kali ini karena baru kali ini aku onani disertai dengan mengobrol dengan Kak Rini walaupun hanya ditelepon.
Setelah kejadian itu, selama dua minggu pertama keberangkatan suaminya ke luar negeri tidak ada kejadian istimewa yang terjadi. Aku hanya sesekali onani, karena aku sering berada di luar rumah (kalau sore atau malam baru balik ke rumah) dan mengantar jemput Kak Rini kalau aku tidak ada kegiatan. Setelah mengantar atau menjemput Kak Rini, aku biasanya melanjutkan kegiatanku di kampus atau di luar rumah, dan kalau balik kerumah aku sering mendapati Kak Rini telah tidur di dalam kamarnya sehingga kami tidak sempat ngobrol.
Sampai pada suatu malam, ketika aku pulang dari kegiatan dengan teman-teman kampusku selama tiga hari (praktis aku tidak bisa menemani dan bertemu Kak Rani) di luar kota. Setelah menyimpan motor di garasi samping rumah, aku lihat lampu ruang tengah masih menyala dan Kak Rini menonton acara TV sambil tiduran di sofa. Rasa kangen makin menjadi-jadi setelah tiga hari tak bertemu dan melihat Kak Rini mengenakan dasternya yang menurutku sangat seksi. Dasternya berwarna kuning tua (serasi dengan kulitnya yang mulus) dengan lengan yang agak pendek dengan lubang lengan yang agak besar sehingga aku bisa melihat tali BH nya yang berwarna putih dari ketiaknya.
Aku memeluk ringan (sudah biasa) dan kali ini aku sedikit nakal dengan memberi ciuman tipis di telinganya (aku belum berani sun bibir).
“Baik-baik aja kan kak?!” sapaku sambil merapat ke tubuhnya sambil memegang bahunya.
“Iya nih.. cuman agak kesepian sendiri!” Jawabnya sambil tersenyum manis.
“Kan Mas Tanto baru dua minggu lebih perginya..?!!” Kataku menggoda
“Ihh.. kamu bisa aja.. awas ya aku laporin ke Mas..kalau kamu nggak jagain aku selama tiga hari!!” Jawabnya sambil mengancam dan mencubit pinggangku..
“Kan cuman tiga hari.. tapi nggak lagi kok.. sudah selesai kegiatannya” kataku mencoba menetralisir suasana yang sudah mulai membuat aku ngeres.
“Ok deh.. tapi mandi sana, bau tuh..!!” katanya mengejek aku.
Aku pun mandi dan mengisi perut yang sudah dari tadi minta diisi. Sambil makan, aku membayangkan bagaimana rasanya kalau aku bercinta dengannya malam ini. Membayangkan itu, aku makin tambah gelisah dan aku cepat-cepat menghabiskan makananku dan menemani Kak Rini menonton acara TV.
Dengan memakai kaos oblong dan celana karet pendek, aku menemani Kak Rini menonton sambil duduk dikarpet dan bersandar di sofa tepat disamping Kak Rini. Sambil menonton, kami bercerita apa saja, dan tak lama kemudian, Ka Rini berdiri dan berjalan ke kamar mandi ingin buang air. Sewaktu melewatiku, dasternya tampak transparan walaupun sekilas, dan aku sempat juga mencium aroma tubuhnya yang wangi.
Hal itu membuat aku memperbaiki letak penisku (waktu Kak Rini sudah di kamar mandi) karena aku malu kalau Kak Rini tau aku sedang ‘horny’ karena celana pendek yang aku kenakan sedikit ketat. Setelah keluar dari kamar mandi, Kak Rini pun ikutan duduk di karpet disampingku, malah dia tengkurap sambil membelakangiku dan memeluk bantal duduk. Aku semakin bebas melihat buah pantatnya yang bagus, sedikit pahanya yang mulus dengan betisnya yang indah yang ditaburi bulu-bulu halus yang rapi. Sungguh pemandangan yang membuat aku makin konak, sehingga aku tidak konsen lagi dengan acara TV ataupun obrolan kami.
Sambil ngobrol dan bercanda, Kak Rini sering mengejek atau meledek aku hingga aku tak sadar menepuk betisnya yang indah dan mulus. Setelah menepuk, aku tidak menarik kembali tanganku, tapi kubiarkan terparkir di betisnya sambil sesakali mengusapnya. Jantungku makin dag dig dug, aku gelisah, karena baru kali ini selama aku tinggal dengannya bisa berdekatan sambil mengelus betisnya. Kejadian di atas kapal laut yang aku coba lupakan, terkenang kembali. Penisku makin tegang, dan terciplak jelas di celana pendekku karena aku tidak memakai CD lagi didalamnya (aku memang jarang memakai CD kalau dirumah). Untuk menutupinya, aku meminta bantal duduk yang lain yang berada didepan Kak Rini.
“Tolongin bantalnya dong kak!” Sambil menunjuk bantal didepannya..
“Ambil aja sendiri, malas amat seh bergerak!” katanya mengejekku. Tanpa meminta lagi, aku langsung bergerak mengambilnya, tetapi aku harus melewati tubuhnya, dan mau tak mau aku menindih pantatnya yang indah.
“Yang ini aja deh..” kataku sambil merebut bantal yang ada dipelukannya. Tapi karena dia mempertahankannya, akupun tertarik ke arah tubuhnya sehingga sekarang aku menindihnya dari atas, sedangkan dia masih tetap tengkurap.
Sambil mempertahankan bantalnya, buah pantatnya yang sudah aku tindih juga turut bergoyang menambah ketegangan penisku. Dengan posisi seperti ini, akupun bebas menciumi rambutnya yang harum sambil tangan dan lengan kami bersentuhan. Sungguh posisi yang paling mengasyikkan, dan aku pun akhirnya tetap berada diatas tubuhnya..
“Ihh.. kakak pelit!”
“Biarin..!” katanya sambil tetap menatap layar TV.
Pandanganku tertutupi oleh sebagian rambutnya yang sebahu, dan aku pun makin berani menciumi rambutnya dan mulai memegangi tangannya. Jantungku berdegup kencang, aku tahu Kak Rini mengetahuinya, tapi ketakutanku dikalahkan oleh nafsuku dan tanganku mulai berani menyibak dan mengelus rambutnya..
“Kakak harum..” kataku tanpa disengaja karena sensasi yang ditimbulkan oleh suasana seperti ini..
“Biarin.. kamu aja yang bau.. wwek!” Katanya mengejekku.
Setelah menyibak rambutnya, kuberanikan mencium tengkuknya, Kak Rini tampak kaget walaupun sesaat, dan dia tetap mengarahkan pandangannya ke layar TV walaupu aku tahu tidak konsen lagi dengan acara TV. Melihat dia tidak protes, aku semakin berani menciumi telinganya dan bolak balik kelehernya..
“Kulit kakak muluss..” Kataku dengan gugup..
“Sshh.. biarin” Jawabnya sedikit mendesah.
Aku pun makin agresif.. kugoyang pinggulku agar penisku bisa lebih merasakan buah pantatnya sambil tanganku perlahan-lahan mulai menyusup kearah ketiaknya. Tangan masuk melalui lobang ketiak dasternya, dan mencoba mengusap pangkal payudaranya.
Sampai saat itu, aku masih takut kalau Kak Rini jadi marah karena ‘kenakalanku’. Tapi karena dorongan nafsu yang makin menjadi, aku beranikan untuk menarik bawah dasternya sambil mengusap paha luarnya dengan tanganku yang satu, sedangkan tangan yang lain tetap meraba-raba payudaranya. Aku tak peduli lagi kalau dia marah, karena sensasi yang tercipta benar-benar membuat penisku tak sabaran lagi.
Dengan dibantu kakiku, aku coba merenggangkan pahanya, setelah dasternya mulai sedikit demi sedikt tergeser keatas pinggangnya, sampai tampak CD Kak Rini yang berwarna putih. Kak Rini diam saja, malah cenderung penurut ketika aku menarik dasternya keatas dengan mengangkat pantatnya sedikit, sehingga penisku makin menempel keras di buah pantatnya yang montok.
Sampai disini, aku masih mengelus-elus pahanya dengan lembut dan tangan yang satu sudah berani meyelusupkan satu jari ke dalam mangkuk BH nya sambil menekan lembut payudara Kak Rini. Aku juga mulai menciumi punggungnya yang sedikit terbuka dibagian atasnya, terus kebawah kearah tali BH nya. Aku menggigit daster dan tali BH nya bagian belakang lalu kutarik dan kulepas sehingga berbunyi cipak (bunyi tali BH mengenai kulitnya), dan kuulangi beberapa kali.
“Hmm.. sakkitt..!!” Rengeknya manja sambil menundukkan kepalanya ke bantal sambil menikmati permainanku.
“Biarin..!!” Balasku dan kami sama-sama tertawa. Aku pun makin berani menarik CD Kak Rini kebawah sambil aku mencoba mencium pipinya.
“Kamu nakaa..ll!!” Manjanya yang membuat aku makin bernafsu. Aku tarik tanganku yang mengelus-elus payudaranya dan menarik wajahnya sehingga aku dapat mencium bibirnya walaupun hanya sebentar dan dengan agak susah.
Karena aku makin bernafsu dan ingin sekali menciumi bibirnya yang seksi, aku bangun dan segera menarik CD Kak Rini sampai kelutut. Lalu aku membalikkan badannya dengan sedikit kasar sehinnga sekarang Kak Rini terlentang dihadapanku dengan dasternya yang sudah terangkat sampai keperut dan CD sampai lutut yang memperlihatkan rimbunan bulu-bulu halus di selangkangannya.
“Kamu mau ngapain..?!” Katanya sedikit terkejut.
Tapi aku segera menindihnya dan memegang wajahnya dan segera mencium bibirnya yang diatasnya ditumbuhi bulu-bulu halus seperti seperti kumis tipis. Kak Rini coba berontak dengan memalingkan wajahnya, tetapi karena aku telah memegang mukanya, akhirnya bibirnyapun berhasil aku lumat, dengan sedikit menarik dagunya sehingga bibirnya terbuka. Kak Rini pasif saja mulanya, tapi setelah aku jilati bibirnya, dia pun mulai membuka mulutnya dan mendesah..
“Ahh..jangan Rick!” Tapi aku terus mencium, menjilat sampai Kak Rini pun berani membalas goyangan lidahku di dalam rongga mulutnya.
Lama kami bermain lidah, saling menjilat disertai desahan nafas kami dan bunyi ‘plok’ saat bibir kami terlepas untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan saling kulum dengan ganasnya. Perlahan tanganku meraih kedua tangannya dan menaruhnya diatas karpet dibagian atas kepala Kak Rini sambil terus berciuman. Aku kembali menciumi lehernya, bahunya dan dadanya. Kak Rini hanya mendesah tanpa berbicara..
“Akhh.. sshh..!!” dan aku makin melancarkan ciumanku, kali ini ke ketiaknya yang putih (bulu-bulunya tidak selebat waktu di atas kapal laut), aku ciumin dan aku jilati..
“Akhh.. geli sayang!!” Desahnya lalu menggigit bibirnya (itulah kata sayang yang pertama ditujukan padaku) sambil kepalanya bergoyang kiri-kanan menikmati rangsangan yang aku berikan.
Aroma tubuhnya yang sensasional dan sensasi bulu-bulu ketiaknya membuat aku makin terangsang dan aku segera meremas payudaranya dan Kak Rini memelototi aku katanya,
“Sshh.. pelan-pelan.. sakit!”
Aku pun segera memintanya untuk melepaskan dasternya agar aku bisa membuka BH nya, tapi dia merengek manja..
“Nggak mauu..!!” Katanya pura-pura cemberut, tapi aku segera mencopot CD nya dan segera kubenamkan wajahku di vaginanya yang penuh dengan bulu-bulu halus menggairahkan.
“Kamu mau ngapain..?” Tanyanya bingung, tapi aku terus saja mencoba menguak pahanya dengan kedua tanganku lalu mulai menjilati vaginanya yang ternyata sudah mulai basah oleh cairan vaginanya.
“Jangan ahh.. kan bau tuh..sshh..!” Protesnya sambil mendesah menahan nikmat, tapi aku justru merasakan aroma vagina yang membuat perasaan tidak karuan.
“Asyik kok kak.. punyanya kakak harum ya..?!!” kataku memuji karena memang harum.
Aku jilati bibir vaginanya yang menonjol, clitorisnya, dan dengan bantuan jari menguak vaginanya, aku menusukkan lidahku ke dalam lobang vaginanya, sehingga Kak Rini mengerang tak karauan..
“Ohh.. uu..” Tiba-tiba aku merasa vaginanya menegang dan pahanya dirapatkan menjepit kepalaku, dan aku mencium aroma vaginanya yang makin tajam diiringi lidahku merasakan cairan bening dari dalam lubang vaginanya.. ternyata Kak Rini sudah orgasme. Diapun mendorong kepalaku sehingga terangkat dari vaginanya dan tangannya menutupi vaginanya lalu tangan satunya mengambil CD nya yang tergeletak disampingnya dan menutupi lubang vaginanya dengan CD nya itu dan berbaring membelakangiku sambil mengatur nafasnya yang memburu.
Aku kecewa karena tidak sempat menjilati cairan vaginanya yang harum (aroma bunga). Aku coba mendekatinya lagi sambil melepaskan celanaku. Ketika aku coba menyentuh vaginanya dari belakang, dia berkata,
“Sudah dong Rick..!”
Aku coba mengerti, mungkin Kak Rini malu kalau cairan vaginanya aku jilati. Juga mungkin perasannya yang bersalah telah orgasme dihadapan adik sepupunya sendiri. Aku hanya memeluknya dari belakang sambil menempelkan penisku yang sudah ngeras habis dibelahan pantatnya, lalu aku belai-belai rambutnya, mencoba menghiburnya karena aku sendiri belum mencapai klimaks.
“Kamu jahat.. rangsang aku sampai aku orgasme!” Katanya sewaktu aku sudah mulai menggesek-gesekkan penisku di pantatnya.
Aku hanya diam, karena aku makin terangsang ingin memasukkan penisku ke vaginanya. Dan ketika aku makin kencang menggesekkan penisku yang mulai basah oleh sisa cairan vaginanya dan Kak Rini diam saja, aku lalu memutar tubuhnya sehingga dia kembali terlentang dan aku segera merenggangkan kembali pahanya, tetapi Kak Rini menolak sambil menarik aku dan berkata sambil membelai-belai wajahku..
“Jangan sayang.. aku takut hamil selama Mas Tanto nggak ada disini” Katanya memohon pengertianku.
“Tapi kak.. aku dah nggak tahan lagi..” Protesku.
“Didubur aja Kak kalau nggak mau di vaginanya kakak..?!!”
“Sakit sayang.. lagian nanti berbekas!” katanya memohon.
“Kalau gitu kakak oral aja..!” kataku sambil menyodorkan penisku ke mukanya. Dia tampak kaget melihat penisku yang agak besar walaupun panjangnya cuman sekitar 15 cm.
“Ok..tapi kalau udah mau keluar bilang ya..aku belum pernah nelan spermanya Mas Tanto!” Katanya sambil duduk dan membuka daster dan BH nya.
Aku terpesona melihat bentuk payudara yang indah (punya pacarku saja yang dulunya aku bilang bagus masih kalah sama punyanya Kak Rini), sampai aku tidak tahan untuk tidak meremasnya..
“Tete kakak bagus..!!” Pujiku. Kak Rini hanya tersentum manis,
“Kalau udah mau keluar, gesekin aja di sini ya..!” Katanya sambil menunjuk ke payudaranya, lalu dia memegang penisku dan mulai mengulumnya,
“Ssruupphh..” Bunyi kulumannya di kepala penisku yang agak besar sambil melumurinya dengan air liurnya.
“Punyamu besar dan agak panjang dari Mas Tanto..!”
Tapi aku tidak terlalu menghiraukan lagi kata-katanya disela hisapannya, karena aku sendiri sudah merasa terbang ke langit ketujuh. posisi kami awalnya sama-sama berlutut, Kak Rini mengulum penisku sambil tangannya meremas-remas buah pantatku, dan sesekali menyentuh lubang anusku, semuanya itu menambah rangsangannya. Aku memperhatikan kulit Kak Rini yang benar-bener mulus dari punggungnya sampai ke pinggangnya yang ditumbuhi bulu-bulu halus, bentuk pantatnya yang indah dan payudaranya yang menggelitik pahaku sambil mulutnya mengulum penisku..
“Akhh.. kak.. duduk dong!” Kataku sambil berdiri karena rangsanagn yang dia berikan semakin memacu gairahku.
Kak Rini pun duduk dan aku berdiri, lalu dia kembali memasukkan penisku ke mulutnya. Kali ini aku yang menggoyang pantatku ke depan ke belakang dan lidahnya menahan kepala penisku setiap pantatku kudorong kedepan sambil tangannya memeluk kedua pahaku. Beberapa menit kemudian aku sudah mulai merasakan desakan air maniku yang mau keluar, aku pun menarik keluar penisku, tapi karena hisapan yang kuat dari mulut Kak Rini, aku pun mendorongnya dan dia mengerti kalau aku sudah mau klimaks, Kak Rini segera berbaring dan memegang penisku lalu diarahkan ke payudaranya lalu menjepit dan aku disuruhnya untuk menggesek-gesekkannya sambil meremas payudaranya, sampai..
“Akhh.. kakkh.. aku mau keluar..!!” Kataku sambil menggeleng-gelengkan kepalaku. Dan.. crot.. crot.. banyak sekali air maniku yang muncrat di dada dan leher Kak Rini bahkan ada yang sampai mengenai mukanya.
“Akhh.. kakak nikmat bangett..!!” Jeritku sambil tetap meremas payudaranya.
“Bersihin dong Rick, sperma kamu banyak tuh..!!” Katanya sambil menyodorkan dasternya.
Aku pun mulai menglap sisa-sisa spermaku di payudaranya, leher dan mukanya. Lalu aku ciumin bibirnya,
“Makasih Rick.. kamu puasin aku malam ini!” Katanya
“Kamu hebat.. pintar rangsang aku..!” Bisiknya malu-malu.
“Dan mulai sekarang.. kamu nggak usah lagi tumpahin spermamu di celana dalam kakak yang udah kotor.. capek nyucinya.. hehe!!” Godanya,
“Jadi kakak tahu kalau aku sering tumpahin spermaku di CD nya kakak??” Tanyaku malu..
“Iyalah.. tapi nggak papa kok.. kakak suka.. aku juga sering ciumin CD kamu kok.. cuman kamu nggak tau kan?!!hehhe!!”
Lalu katanya lagi, “Sejak dari pertama kenal, kakak sudah tertarik sama kamu, tapi kakak sembunyiin.. kamu aja yang agak berani.. terutama di atas kapal laut dulu!!”.
Malam itu kami lanjutkan bercerita tentang kejadian-kejadian yang kami alami selama ini yang sama-sama kami rahasiakan, semuanya dibongkar dengan jelas.. dan sambil bercerita, kami selingi dengan saling cium, melumat bibir, saling raba dan berpelukan. Kami tertidur sambil berpelukan dengan telanjang di ruang itu, setelah aku membuat Kak Rini orgasme sekali lagi walaupun dengan jari-jari tanganku (itu permintaannya sendiri) walaupun aku sebenarnya ingin merasakan vagina Kak Rini.
Sejak saat itu, aku dan Kak Rini sering ‘bercinta’, walaupun Kak Rini belum mau aku memasukkan penisku ke vaginanya karena takut kalau-kalau dia hamil saat suaminya ada di luar negeri. Tapi paling tidak, aku tidak lagi cuma merasakan aroma vaginanya lewat CD nya, atau aroma tubuhnya yang sensasional di pakaiannya, tapi aku sudah bisa merasakan langsung, kapan saja aku mau.